Lama tidak menulis di sini ...
Sedih ...
Nd jelas!
Yah, setelah setahun lebih tidak mengutak-atik blog saya yang terbengkalai dan (mungkin) tidak bermutu ini, saya sempatkan saat ini untuk mengisinya dengan cerita singkat "yang agak panjang" untuk berbagi pengalaman selama setahun yang kemarin.
The First Year when I became a Vicar!
Setelah lulus dari lembaga tercinta, STT INTIM Makassar, saya segera memasukkan berkas pendaftaran di Sinode GKSS (Gereja Kristen Sulawesi Selatan). Kira-kira, proses ini saya lakukan di awal bulan Juni. Lupa juga tanggal pastinya, tapi yang pasti di awal bulan Juni.
Sambil dalam penantian untuk ditempatkan di salah satu jemaat GKSS untuk menjalani masa vikariat, saya masih aktif di kampus sebagai seorang Pengacara - Pengangguran Banyak Acara.
Kenapa pengangguran? Karena saya tidak punya status sebagai mahasiswa lagi setelah Yudicium dan saya juga tidak memiliki pekerjaan karena sedang menunggu jawaban dari berkas yang sudah saya masukkan di sinode.
Kenapa banyak acara? Karena saya orangnya memang 'sok sibuk', kiri-kanan urus Grup Musik dan Akapela - Eastern Prayers (EP) dan Centracapella (CA) yang belum terkenal sama sekali (artinya sekarang sudah terkenal?). Sebenarnya saya menyibukkan diri dalam EP dan CA karena saya terlalu cinta sama segala sesuatu yang bernuansa musik, dan saya berusaha untuk selalu mengarahkan hidup di pelayanan, meskipun mungkin tidak sepenuhnya terlaksana. Karena kecintaan dan panggilan itu, sepertinya cukup beban juga saat awal melepas EP dan CA secara nyata. Ngomong soal EP dan CA, ada tentang mereka di tulisan saya sebelumnya. (http://pardasimjr.blogspot.co.id/2014/10/my-own-music-history.html)
Akhirnya, sambil sibuk mempersiapkan diri untuk mengiringi bersama EP dan persembahan pujian bersama CA di Ibadah Syukur Dies Natalis STT INTIM, penantian saya untuk penempatan tahun pertama dijawab dengan sedikit ... ... ... ... (silahkan menebak perasaan saya). Saya diberi tahu untuk menunggu masa wisuda agar saat penempatan nanti tidak perlu minta izin wisuda.
Yang sempat saya gumulkan, saya memasukkan berkas pada awal Juni, dan saya menerima kabar untuk menunggu pada tengah Agustus, kemudian saya harus menunggu hingga tengah September untuk ditempatkan pada awal Oktober. Mungkin 4 bulan bukan waktu yang lama untuk beberapa orang. But for me, personally, it fells wasting time.
Andaikan berita untuk menunggu saya terima pada akhir Juni atau paling tidak awal Juli, saya bisa melaksanakan magang dulu dibanding hanya menjadi seorang "pengacara".. I'm not telling the complete story of my waiting cause it wasting to much time to write and read too..
Tapi apa daya, semua sudah tersiratkan dan akhirnya tersuratkan, maka let it be~
Next, saya mempersiapkan diri di akhir September untuk berangkat ke Kabupaten Kepulauan Selayar, sesuai penempatan yang sudah diberikan. Bawa koper isi pakaian dan alat-alat make up (wow!), laptop, buku-buku praktika dan pastinya Alkitab. Beberapa hal yang tidak pernah dibawa oleh Vikaris-vikaris lainnya ada 2, gitar dan microphone condensor yang dipinjamkan oleh sepupu, thanks kak Adhe Momon :*
Setibanya di Pulau Selayar, langsung disambut oleh Wakil Ketua Klasis, Ketua Majelis Jemaat Massese Baji, gereja di mana saya ditempatkan dan beberapa adik-adik cantik (but honestly, saya lupa siapa-siapa saja waktu itu) yang seiring waktu menjadi keluarga kedua bagi saya (pakai istilah salah seorang adik cantik yang dia ungkapkan waktu perpisahan). Kenapa saya bilang 'seiring waktu'? Karena memang semuanya membutuhkan proses. Tidak instan!
Dengan kecanggungan menghadapi mereka yang baru saya lihat, dan tentunya mereka lebih canggung sama saya yang adalah pendatang baru tapi selalu SKSD sama mereka. 'Mereka' ini bukan hanya adik-adik cantik yah, tapi semua saudara-saudaraku juga di Selayar, dari JMB sampai BCP!
Itu, kayak dibombe' (dimusuhi) :'( |
Beberapa moment yang paling berkesan itu saat pertama kali ikut acara HUT Sweet Seventeen salah seorang adik di jemaat dan saat itu rambut saya hampir terlihat botak dan saya pun belum banyak berkomunikasi kepada mereka semua. Yah, namanya proses. Selain itu, moment yang menjadi penumbuh kebersamaan kami adalah saat Natal. Selalu hadir dalam semua Natal di 10 jemaat lain di Selayar dan hampir semuanya kami mengisi persembahan pujian. Jadi, waktu yang terpakai untuk latihan menjadi banyak dan di saat-saat itulah rasa kekeluargaan kami dibina. Bertepatan lagi dengan tema Natal tahun 2015 "Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah", ditambah lagi theme song di Natal jemaat pun "Keluarga Kerajaan Allah", semuanya dukung-mendukung untuk menciptakan atmosfir 'rumah sendiri' di pastori dan gereja. Alhasil, jadilah kami sebagai anak-anak Tuhan yang terikat dalam rasa saling memiliki karena merasa bahwa sesamaku adalah saudaraku.
Beberapa catatan penting yang ingin saya share lewat tulisan ini tentang bagaimana mengembangkan talenta lewat membaginya? Bagaimana juga menentukan metode yang tepat dalam membagi talenta itu? Dan yang terpenting, nanti belakangan saya kasih tau.. Tapi sebelumnya, kenapa saya ingin berfokus pada perihal talenta dalam artikel "First Year" ini?
Yah, jelas karena talenta adalah karunia Tuhan yang sudah jelas juga tidak boleh kita kuburkan, tapi kita kembangkan sebesar-besarnya untuk kemudian kita pakai untuk banyak hal, entah pelayanan ataupun berbagi seperti yang selama ini sudah saya coba usahakan. Dengan talenta juga, kita bisa menjadi saksi bagi Tuhan. Sudah ada beberapa saudara di sini yang saya lihat sangat menerapkan kehidupan bersaksi lewat talenta yang dia miliki. Tapi, dalam kasus "First Year" saya, talenta yang Tuhan berikan sangat berperan penting hingga memang kesan terbesar yang bisa saya tinggalkan hanya itu, talenta. Karena sisanya hanya soal bangun telat dan teladan perokok yang tidak patut dicontoh.
Sekarang saya mulai narasikan dan menjawab catatan-catatan penting yang saya sudah ungkap di atas. Tugas saya sebagai Vikaris jelas, belajar tentang bagaimana berjemaat, kebutuhan jemaat, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan "jemaat". Dalam hal ini, jemaat yang saya tempati bertugas sementara membutuhkan pengembangan dalam skill bermusik. Hitung-hitung instumen sudah lengkap tapi sayangnya jadi berdebu karena jarang digunakan. Jarang digunakan pun bukan karena malas dipakai, tapi karena tidak ada yang tahu memakainya. Alhasil, media ini menjadi wadah bagi saya untuk menunjukkan peran, setidaknya. Karena mengingat saya yang masih sangat terbatas dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya, musik menjadi, hampir, satu-satunya media yang bisa saya bagikan ke jemaat.
Dengan demikian, saya mulai menyusun jadwal berdasarkan animo jemaat yang ingin mengembangkan diri dalam bermusik. Kebetulan, animo terbesar muncul dari golongan anak sekolah minggu hingga pemuda. Ada beberapa orangtua yang sempat berwacana ingin diajar, hanya saya mempertimbangkan kesibukan yang bersangkutan, lagi, tidak ada wacana selanjutnya, jadi jelas kelass untuk orangtua ditiadakan. Plus saya merasa canggung untuk mengajar orang yang lebih tua, Secara, metode yang saya gunakan awalnya agak mendikte dan 'kurang berperasaan', jadi sulit untuk menerapkan ke orang yang lebih tua.
Alhasil, terkumpullah Alicia W., Felicia W., Alicia G., Jessica L., Ines, Ivon, Oliv, Erwin, Tuti, Kezia, Putri dan Ika yang ingin belajar keyboard, Novaldy, Christian, dan Keysha yang ingin belajar drum, Ririn, Hedy, Jeslyn dan Jessica R. yang ingin belajar piano, Indri, Sherina, Tiffany, Marcel, Adrian, Jessica T. dan Tesalonika yang ingin belajar gitar. Dengan murid sebanyak ini, saya harus menyisihkan waktu sebanyak 7 jam selama seminggu (di luar jadwal pelayanan dan persiapan pelayanan, serta perkunjungan). Jujur, semangat awal yang saya miliki sempat menurun karena beberapa faktor:
- Yang diajar dari awal benar-benar butuh kesabaran. Bukan hanya soal menuntun perlahan hingga bisa menghafal 3 chords per pertemuan, tapi juga soal sabar mendengarkan keributan dan kegaduhan mereka, sabar menjawab pertanyaan celoteh mereka, dan sabar melihat ke-hhyperactive-an mereka.
- Ketika semangat dari murid menurun, secara psikologi, akan membawa semangat guru untuk mengajar, juga sebaliknya sebenarnya. Tapi kebanyakan, untuk kelas tertentu, kasus pertama yang terjadi. Adalah yang mengatakan terlalu sulit, ada yang kecapean, ada yang terlalu padat 'jadwalnya' sampai tidak datang les, dan yang paling menggeramkan, banyak yang tidak datang tepat waktu.
Dua faktor ini sempat membuat saya turun semangat karena dengan ketidakdisiplinan yang terjadi, progress yang saya harapkan juga tidak terjadi, tidak ada perkembangan yang signifikan. Saya akhirnya merenung, apa yang salah dari proses belajar-mengajar ini? Apakah mereka yang memang tidak bisa diajar, atau saya yang salah menggunakan metode? Kedatangan Pdt. Dessius D. Ngantung, M.Teol membawa pencerahan buat saya, ditambah sharing-sharing yang saya lakukan dengan mereka yang pernah diajar oleh beliau.
Sebelumnya, saya harus menceritakan metode awal yang saya gunakan untuk mengajar mereka. Dalam artikel sebelumnya, saya sudah ceritakan background musik saya yang dari les privat keyboard hanya selama 3 bulan dan kemudian mengembangkan secara otodidak (plus dibagi ilmu sama suhu-suhu terdahulu, hahaha). Dengan latar belakang itu, saya tidak punya banyak dasar untuk membagi ilmu secara sistematis kepada mereka. Akhirnya saya membagikan apa yang saya RASA penting terlebih dahulu. Yang saya rasa penting adalah teori dasar tentang tangga nada. Alhasil 2-3 pertemuan awal saya gunakan untuk menanamkan tentang interval nada. Selanjutnya mulai menyentuh instrumen sambil tetap terus mendalami jarak antar nada ini.
saya yakin mereka sudah lupa tentang tangga nada ini -_-
Metode awal itu terus saya pakai berbulan-bulan sambil mengajarkan chords nada dasar C sampai kedatangan Pdt. Des pada sekitar bulan Agustus. Selama masa itu, jujur, tidak ada perkembangan siginifikan dan itu semakin membuat drop semangat saya. Bahkan banyak "jiwa yang gugur" dalam perjalanan bermusik ini. Saya mulai bertanya lagi pada diri sendiri, apakah teori yang saya pegang tentang:
Yang berbakat akan kalah progress dari pada yang rajin latihan. Jika dalam satu tahun yang berbakat hanya latihan seminggu sekali, sedangkan yang tidak berbakat latihan setiap hari, maka jelas yang tidak berbakat akan lebih berkembang!
adalah teori salah? Atau memang cara mengajar saya yang salah dari awal? Dan Pdt. Des memberi jawaban soal itu saat saya memberanikan diri bertanya tentang metode. Pesan beliau:
Anak-anak awalnya perlu dibuat "mencintai" musik dan alat yang mereka ingin pelajari. Ketika mereka belajar dan mendapati instrumen itu sulit untuk dimainkan, jelas kecintaan mereka akan pudar dan semangat belajar itu akan hilang.
Dengan prinsip tersebut, metode yang beliau ajarkan adalah to the point! Ajarkan per lagu, perlahan setiap chord atau pukulan/beat (untuk drum) di lagu itu. Simple but meaningful. Saya memulai hampir dari awal, mengajarkan 1 lagu untuk mereka kuasai dan tampilkan di ibadah minggu. Alhasil dalam 1 bulan = 4 kali pertemuan, duet Alicia, Feli dan Jessica sudah bisa memainkan lagu PKJ 58 "Semua Yang Tercipta" bersama-sama (duet Alicia left hand, Felicia dan Jessica right hand). SEMBILAN BULAN YANG SUDAH LEWAT AKHIRNYA TERBUANG KARENA METODE YANG SALAH!
Bocoran, duet Alicia masih kelas 5 SD, sedangkan Feli dan Jessica masih kelas 3 SD. Saya kadang iri sama mereka, kenapa saya tidak belajar dari SD juga yah? Mungkin sekarang sudah jadi artis kalau belajarnya dari SD. Hahaha..
Tapi sudahlah, mau diapakan lagi? Sudah lewat, fokus ke depannya saja. Di samping perkembangan mereka, proyek terbesar yang saya kerjakan bersama dengan mereka bisa disaksikan di link YouTube di bawah ini.
Ki-ka: Jessica R., Jeslyn, Novaldy, Jessica T., Jordan (saya yang paling gagah di tengah belakang)
Mereka adalah Jessica R. sebagai vokal yang saya alihkan sementara untuk mengisi posisi itu. Pertimbangannya juga, suaraya adalah suara anak-anak yang paling pure, jadi saya memilih dia menjadi vokalis. Kemudian Jordan sebagai gitaris, peserta baru yang sudah memiliki dasar pengetahuan chord jadi tidak susah diajar lagi. Hanya susah mengajar strum dan menghafal chordnya. Jessica T. yang saya alihkan dari gitar demi mengisi posisi bassis. Yang ini cukup mudah diajar karena sudah ada dasar gitar, pengetahuan tentang interval dan lumayan kuat daya hafalnya. Jeslyn di piano juga tidak susah karena sejak pakai metode lama pun sudah lumayan. Dan Noval sebagai drummer yang sepertinya punya bakat alami dalam bermusik. Jadi saya cuma ajarkan variasi supaya pukulannya tidak monoton. Latihan 2 bulan supaya penampilan total!
Akhirnya, 1 tahun saya bertugas sebagai vikaris di jemaat ini, hanya menelurkan hasil yang demikian. Cukup kecewa terhadap diri sendiri karena tidak terpikir untuk menggunakan metode Pdt. Des dari awal. Tapi yang membahagiakan karena kebersamaan bersama mereka (termasuk yang tidak les) adalah hal yang tidak terlupakan.
Hal terakhir yang terpenting yang saya singgung di atas kalau belakang baru saya kasih tau adalah (panjangnya kalimatnya~)
motivasi dalam mengembangkan talenta dan menggunakan talenta! mengapa motivasi itu menjadi sesuatu yang penting? karena ketika motivasi sudah keliru, maka hasil pun tidak akan maksimal! mengarahkan talenta musik yang saya bicarakan bukanlah tentang musik sekuler yang dianut para artis untuk mengajarkan cinta kepada anak hingusan lewat lagu-lagu tidak bermutu. tapi musik yang saya bicarakan dari tadi adalah musik gerejawi yang dalam bahasa Selayarnya "Sacred Music" (Sacred - Sakral - Suci). Jadi musik gereja bukan tentang sehebat apa kau di mata penontonmu, tapi seberapa tulus pujianmu bagi Tuhan, dan tentang ini hanya Tuhan yang bisa nilai. walaupun kita sudah menampilkan sebuah pujian secara profesional, megah dan hebat, tapi ketika motivasi kita sudah salah, maka yang ada kita akan mencuri kemuliaan Tuhan.
Melalui artikel ini, saya rindu untuk memotivasi semua orang yang membaca dari awal sampai habis. Oleh karena itu, bacalah pesan-pesan saya di akhir "First Year" ini kemudian terapkan demi kemuliaan Tuhan.
- Jangan pernah patah semangat dan merasa tidak berbakat dalam bermusik. Musik itu soal latihan, latihan dan latihan. Jika tidak latihan, Alm. Michael Jackson pun tidak akan jadi legenda seperti saat ini.
- Jangan pernah menganggap remeh sebuah persembahan pujian. Kadang momen itu hanya digunakan untuk mengisi bagian kosong dari ibadah supaya ada yang isi. Tapi ternyata kita sering lupa bahwa persembahan pujian kita itu untuk Tuhan. Layakkah kita sebagai hamba dipuji layaknya Tuhan hanya karena sebuah persembahan pujian? Sementara puji-pujian lainnya kita curi dari Sosok yang telah mencipta dunia, yang telah berkorban demi kita semata dan yang telah menyertai kita setiap saat! Tentu mencuri kemuliaan itu bukanlah prinsip iman kita.
- Yang terakhir, jangan pernah bosan baca blog saya, mendengar lagu-lagu saya di YouTube. Karena dari hati yang terdalam, saya rindu membagi inspirasi yang sudah saya dapatkan dari Tuhan yang terlalu baik lewat sharing pengalaman, ilmu dan kreatifitas lewat lagu.
Semoga Tuhan memberkati kita sekalian dalam pemberian diri lewat talenta kita masing-masing.
bersama anak Sekolah Minggu |
with momma :* |
bingkisan jemaat |
bingkisan majelis |
duet dengan Erwin Roti Kaya :D |
bersama Pemuda dan Remaja |
bersama Majelis Jemaat |
Second Family |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar